Pemilu dan Demokrasi Berakhlak

UMAR SYADAT HASIBUAN
Kolumnis Harian Waspada

Pilpres 2009 sudah di pelupuk ata. Beragam kiat dilakukan para capres dan cawapres untuk menjaring simpati rakyat agar menjatuhkan pilihan. Masing-masing capres dan cawapres, tentu mempunyai visi, misi dan program yang bervariasi.

Di sinilah pentingnya bahwa kampanye pilpres bukan sekadar mengajak rakyat untuk memilih partai, akan tetapi bagaimana memberi ruang bagi terbangunnya demokrasi yang berakhlak yang memberikan pendidikan politik bagi rakyat, sehingga rakyat cerdas, dan tidak seperti membeli kucing dalam karung.

Dinamika yang tampak menunjukkan adanya kenaikan eskalasi yang siginifikan. Berbagai manuver politik pun secara vulgar tanpa mengindahkan demokrasi yang berakhlak di tampilkan oleh para tim sukses masing-masing capres dan cawapres. Kompetisi yang menentukan kehidupan bangsa selama lima tahun ke depan ini semakin keras melaju bak bola liar tak bisa dihentikan. Perseteruan antar kontestan semakin tak terhindarkan demi mendapat simpati dan keberpihakan rakyat.

Bahkan kalau bisa mendesak lawan, memojokkannya, dan menendangnya ke luar arena. Minimal membuatnya buruk di mata rakyat sehingga rakyat menjauhinya. Memfitnah, kritik membabi buta, pokoknya apa pun yang dilakukan rival politik jika merugikan diri dan kelompoknya akan mendapatkan pembalasannya.

Contoh-contoh yang lain masih banyak, beberapa di antaranya adalah politisasi jumlah angka kemiskinan di Indonesia oleh Wiranto (cawapres dari Partai Hanura), politisasi kontrak karya Freeport, Exxon Mobil dan indikasi penerimaan dana asing oleh SBY sewaktu kampanye Pilpres 2004 oleh Amien Rais (mantan Ketum PAN), hingga isu SARA, penggunaan jilbab dan black campaign yang dilakukan untuk menyerang SBY secara negatif.

Inilah adegan politik yang dipertontonkan oleh para capres dan cawapres. Adegan politik yang mereka klaim seakan terlegitimasi dalam sistem demokrasi yang saat ini kita anut. Kenyataan ini tidak saja membuat peta persaingan menjadi tidak sehat dan jauh dari kepantasan akhlak bangsa.

Sebab, citra pasangan capres dan cawapres tidak dibangun berdasarkan kemampuan
diri, tetapi dengan cara menjatuhkan citra pasangan calon lain. Tentu saja kondisi seperti itu tidak ideal untuk membangun demokrasi yang sehat dan berkahlak di Tanah Air.

Pilar demokrasi di negeri ini selayaknya tidak dibangun dengan perilaku yang saling menjatuhkan, tetapi fondasi akhlak sebagai kultur asli bangsa. Inilah yang seharusnya disadari oleh para capres dan cawapres.

Capres dan cawapres serta tim sukses para kandidat selayaknya tidak membuat program pemenangan pilpres berdasarkan persaingan dengan memfitnah serta menghalalkan segala cara. Di sini, etika politik dalam kampanye harus benar-benar dijaga, bahwa menarik simpati harus dilakukan dalam koridor etika yang santun dan berakhlak.

Menjatuhkan dan memfitnah lawan politik di mata rakyat bukanlah solusi tepat untuk meraih simpati. Sebab, rakyat mampu menilai mana opini sesungguhnya dan mana opini yang dibangun dengan fitnah.

Terkait dengan situasi yang mulai memanas, khususnya jelang pilpres, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selalu mengingatkan agar memelihara dan menjaga demokrasi yang berakhlak dalam berpolitik. “Pelaksanaan demokrasi sebaiknya juga didasari oleh akhlak yang mulia sehingga tidak bisa sebebasbebasnya.

Tidak mengganggu orang lain, juga tidak menjelek-jelekkan pihak lain,” demikian pernyataan SBY yang sering dilontarkannya. Bebas tanpa akhlak, hanya akan menghasilkan kehancuran. Sedangkan bebas yang bersandarkan akhlak, merupakan langkah menggapai kedamaian yang sesuai dengan kultur bangsa.

Pernyataan SBY untuk mengingatkan akan pentingnya demokrasi yang berakhlak dalam pelaksanaan kampanye pilpres dan ini akan merangkum dan memfungsikan akhlak sebagai fondasi demokrasi berkultur Indonesia yang menjadi prasyarat bagi lahirnya budaya dan politik unggul.

Hannah Arendt (1958) mengungkapkan setiap aktivitas politik yang berlangsung di
ruang publik merupakan suatu upaya untuk ‘menyelesaikan pelbagai persoalan melalui kata-kata dan persuasi (argumen untuk meyakinkan pihak lain), bukannya melalui kekuatan dan kekerasan atau bahkan melakukan black campaign untuk memfitnah.

Politik merupakan aktivitas sintesis: mengubah benturan maksud dan kepentingan
menjadi langkah kerja sama untuk melakukan hal-hal yang saling menguntungkan
bagi semua pihak.

Akhlak politik SBY
Demokrasi berakhlak dan etika politik sangat penting bagi perpolitikan di Indonesia, mengingat bangsa ini bangsa timur, bukan barat. Bangsa timur sangat kental dengan tata nilai, normanorma dalam kehidupannya.

Demokrasi yang dikembangkan juga harus berakhlak dan bermoral, sesuai nilai luhur bangsa. Berpolitik tidak sekadar mencari kemenangan, tetapi harus dipikirkan bagaimana bangsa ini maju, rakyatnya sejahtera, ramah terhadap sesama, damai, tidak ada kekerasan dan sopan santun dalam kehidupan sehari hari.

Demokrasi berkhlak juga merupakan kristalisasi dari nalar (logika) politik warga bangsa itu sendiri. Ia merupakan muara sintesis dari logika-logika yang berkembang pada ranah publik demi terbangunnya kohesi sosial.

Pelanggaran terhadap demokrasi berakhlak dengan sendirinya menandakan matinya radisi dan nilai keagamaan serta nalar kebangsaan yang dapat mengancam integrasi

sosial.
Adalah benar, dalam kehidupan berdemokrasi kebebasan makin terbuka dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) semakin tinggi, namun semua harus dilakukan dengan penuh akhlak yang baik, bertanggung jawab dan beretika.

Tapi alangkah indahnya, kalau kebebasan satu pihak, tidak boleh melanggar kebebasan yang lain, kebebasan harus disertai etika, bermanfaat bagi masyarakat luas, dan kebebasan itu harus berakhlak mulia. Kultur demokrasi yang berakhlak, harus terus dijaga dan dipelihara.

Menurut Gabriel Almond (1996), sebuah negara yang berhasil sistem demokrasinya,
salah satunya karena keberadaan kultur demokrasi yang baik. Kultur demokrasi di sini, termasuk sikap individu yang terlibat dalam proses demokrasi itu.

Jika ada individu, terlebih mereka yang berada pada kompetisi suatu pemilu, yang bersikap antidemokrasi, sudah barang tentu cita-cita untuk membangun negara yang demokratis akan sulit terwujud.

Dititik Inilah kegelisahan seorang SBY akan hilangnya demokrasi berakhlak dalam politik pilpres 2009 mendapatkan kebenarannya. Bahwa demokrasi yang direduksi menjadi “permainan menghalalkan segala cara (black campaign)” akan menciptakan “demokrasi tanpa morali dan chaos”, karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada tujuan kekuasaan semata melalui “permainan- permainan negatif”, dengan mengabaikan kultur budaya dan realitas sosial yang nantinya hanya menghasilkan kekacauan semata.

Di sini, SBY ingin mencontohkan bahwa tindakan black campaign yang dilakukan capres dan cawapres lain terhadap dirinya bukanlah tindakan berakhlak dalam berdemokrasi. Karena itu SBY pun mengungkapkan bahwa dirinya tidak akan membalas dan melakukan hal yang sama.

Inilah contoh politik santun dan berakhlak sebagai pendidikan politik bagi rakyat.
Merujuk kepada Ian Shapiro (2005) bahwa moralitas politik sangat terkait dengan bingkai moralitas yang hadir dalam setiap prilaku elit politik. Selain itu juga Moralitas dalam berpolitik ditunjukkan pada saat penguasa menjalankan

kekuasaannya dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral. Jika dalam upaya meraih kedudukan dan kekuasaan capres dan cawapres telah memisahkan politik dengan etika dan moral politik, maka dapat dipastikan bahwa pada saat berkuasa kelak akan banyak kebijakan yang tidak bermoral dikeluarkannya.

Moralitas politik
Moralitas merupakan atribut ontologism yang menegaskan hakikat politik an sich. Maka mencabut kandungan moral dari politik merupakan upaya naif yang dus sama dengan menegasi politik pada dirinya.

Politik pada dirinya mengandung keutamaan- keutamaan moral seperti kerendahan hati, keadilan, kejujuran, kebijaksanaan, dan kebenaran. Kalau saja praktik politik yang terlihat dalam kenyataan menampilkan dimensi-dimensi etis itu sendiri.

Membangun moralitas dalam berpolitik berarti juga membangun akhlak dalam berdemokrasi. Selanjutnya semua lapisan masyarakat perlu mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku. Itulah esensi demokrasi, suatu kebebasan yang dipagari oleh etika dan perangkat hukum yang harus dipatuhi oleh semua orang.

Pernyataan SBY tentang pentingnya mengembalikan kembali demokrasi berakhlak dalam ranah politik pilpres seakan mengingatkan kita kembali betapa sebenarnya bahwa demokrasi berakhlak merupakan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan Francis Fukuyama, harus ada hubungan simbiosis mutual antara sistem dengan budaya masyarakat sebagai nilai kultural demokrasi.

Selama masyarakat hidup dalam budaya arsitokrasi atau feodalisme, hampir dipastikan demokrasi akan berjalan tidak efektif, tanpa terkendali. Sebab, demokrasi meniscayakan partisipasi penuh sehingga kualitasnya bergantung pada kualitas modal sosial yang ada di dalamnya. Demikian pula kualitas seorang pemimpin yang bergantung pada kualitas pemilih, bukan pada suara mayoritas.

Akhirnya, demokrasi bermuara pada masalah akhlak suatu bangsa. Kemerosotan demokrasi lebih banyak disebabkan oleh elite politik yang tidak memiliki integritas moral dan akhlak.

Integritas moral dan akhlak bukan sekadar bermakna kehidupan pribadi elite politik tetapi berkesesuaian dengan persetujuan publik. Integritas moral dan akhlak, ungkap Matthew Collins (2003), berarti terciptanya kesatuan antara nurani yang secara internal terdapat pada manusia, perilaku eksternal yang dapat dilihat secara fisik, dan kepatuhan pada hukum moral dan akhlaq.

Dalam hal ini tampaknya SBY sudah maju selangkah dalam memahami kultur demokrasi bangsa. Inilah modal utama yang selama ini terlupakan dalam perjalanan demokrasi bangsa. SBY ingin mengembalikan ranah politik Indonesia kembali pada fitrahnya yang sesuai jatidiri bangsa yaitu demokrasi berakhlak sebagaimana ditunjukan oleh para founding fathers dahulu.
Mari berpolitik tetapi berakhlakul kariimah! Mari berkompetisi tapi ceminkan akal sehat.

Sumber: WaspadaCoId

Posting Komentar

0 Komentar