Disadari atau tidak, perseteruan dalam gelaran
politik elektoral Ibu Kota telah menyisakan warisan paradigmatik yang
berseberangan satu sama lain. Bahkan pada titik tertentu, dua kutub yang
berlawanan tersebut seolah tak lagi mau bertemu meski asas keduanya
sebagai bangsa adalah satu, yaitu Pancasila.
Pertanyaan yang
muncul kemudian, bila asas kedua kutub yang berseteru di atas adalah
sama-sama Pancasila, mengapa tak bisa lagi menyisakan ruang untuk
bertemu? Atau jangan-jangan Pancasila tak lagi dijadikan asas dalam
berbangsa dan bernegara? Bila benar demikian, maka momentum peringatan
hari lahirnya Pancasila tahun ini patut menjadi sajadah sebagai alas
bersemedi untuk kembali menenun kebinekaan yang mulai terkoyak
akhir-akhir ini.
Segala sumpah serapah yang terekam selama
hajatan politik elektoral Ibu Kota, kini mulai terasa dimuntahkan ke
segala penjuru negeri. Sentimen keagamaan dan politik identitas semakin
diperuncing, situasi ekonomik dan politik dalam negeri yang tengah
berproses membangun diri dihadapi dengan rasa frustasi. Jelas sudah,
Indonesia sebagai bangsa yang berbeda-beda tapi satu kesatuan tengah
menjadi taruhan. Tak terkecuali di desa, kita berharap desa menjadi
ruang konsolidasi perekat pancasila.
Berpijak dari situasi di
atas, Surat Edaran Menteri Desa,Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo Nomor: 1 Tahun 2017
tentang Peringatan Hari Lahir Pancasila, yang ditujukan kepada Kepala
Desa Seluruh Indonesia, menjadi penanda betapa pentingnya kita kembali
memperingati hari lahirnya Pancasila ditengah masyarakat desa-desa
seluruh Indonesia.
Manifes Ibadah dalam ber-Pancasila
Tentu
saja Surat Edaran Mendes PDTT di atas bila sekadar dijalankan sebatas
seremonial, maka tak akan berdampak apa-apa bagi penguatan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Lain hal, bila momentum peringatan
Harlah Pancasila di desa tahun ini, dimaknai sebagai pengingat kembali
terhadap pijakan bersama kita sebagai bangsa yang bernegara kesatuan
Republik Indonesia.
Sebagaimana kita mafhum bersama, peringatan
Harlah Pancasila kali ini, bersamaan dengan datangnya bulan Ramadhan,
yang bagi umat Islam ber aqil baligh diwajibkan menjalankan ibadah puasa
sebulan penuh. Dan bukan sesuatu yang kebetulan, jika kita nyatakan
bahwa "suasana Ramadhan" hanya terasa nikmat dan indahnya bila kita
menjalankanya di desa-desa.
Persis dalam konteks ini, kondisi
kebangsaan serta kebinekaan yang tengah terancam oleh gerakan yang ingin
mengganti ideologi negara, maka ikhitiar yang berorientasikan
memperkokoh kembali landasan berbangsa dan bernegara melalui desa-desa
menjadi sesuatu yang juga harus dilakukan.
Ingin ditegaskan,
bahwa mempertahankan Pancasila sebagai dasar kita dalam berbangsa dan
bernegara, sama "utamanya" seperti "utamanya" umat islam berpuasa di
bulan Ramadhan. Pembeda keduanya hanyalah pada relasi yang terjalin.
Berpuasa di bulan Ramadhan adalah ibadah yang bersifat personal,
sementara mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara adalah ibadah
yang bersifat komunal karena menyangkut kelangsungan hidup kita sebagai
bangsa Indonesia.
Penulis termasuk yang memiliki keyakinan bahwa
tak ada yang perlu dipertentangkan antara Pancasila dan agama (baca:
Islam). Bukankah dalam banyak hal, sabda-sabda Tuhan yang termaktub
dalam al-Quran al-Karim telah memberikan justifikasinya terhadap
Pancasila. Dengan kata lain, menegakkan Pancasila sama saja dengan
menegakkan ayat-ayat suci di bumi pertiwi yang kita cintai ini.
Beberapa
sabda Tuhan sudah sangat jelas memberikan justifikasi pada setiap
butir-butir Pancasila. Seperti yang tersurat dalam sabda-Nya,
"Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa" (QS. Al-Ikhlas: 1)
berkesesuaian dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. "Maka
jangalah kamu mengikuti hawa nafsu, hendaklah kamu menjadi manusia yang
adil", (QS. An-Nisa: 135) memiliki korelasi dengan sila kedua:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sila ketiga yang berbunyi,
"Persatuan Indonesia" berkorelasi dengan firman Allah SWT dalam QS.
Al-Hujurat ayat 13 yang artinya, "Dan kami menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal". Sila
keempat berbunyi, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyarawatan/Perwakilan, mendapatkan justifikasi dalam QS.
Asy-Syuro ayat 38 yang artinya, "Sedangkan urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka". Sedangkan sila kelima, Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia, berkesinambungan dengan firman-Nya dalam
QS. An-Nahl ayat 90 yang artinya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan".
Munajat Pancasila
Selain
keutamaan kita berpuasa di bulan ramadhan, dalam momentum peringatan
Harlah Pancasila ini, penulis juga berpandangan bahwa ketika kita
merapalkan Pancasila tak ubahnya ibarat kita sedang bermunajat dengan
sepenuh hati seperti kita sedang menjalankan ibadah shalat. Dengan kata
yang lebih gamblang, Pancasila itu ibarat shalat beserta keseluruhan
geraknya.
Betapa tidak, karena Pancasila bagi penulis, haruslah
berdiri tegak, setegak takbiratul-Ihram, berteguh pada ketauhidan,
sebagaimana sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila haruslah
bergerak lurus, selurus gerak ruku' dalam membangun horison keadilan dan
solidaritas sosial, sebagaimana sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Pancasila harus bergerak berdiri lurus dalam satu tarikan
nafas, laiknya gerak i'tidal dalam menyatukan langkah dan gerak
solidaritas politik yang mengedepankan kepentingan nasional, sebagaimana
sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Penulis juga meyakini bahwa
Pancasila harus merunduk sujud menuju tempat terendah, bersimpuh dengan
segala kerendahan hati dalam menata kebijaksanaan kerakyatan dan
kehambaan sekaligus, sebagaimana sila keempat: Kerakayatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Pancasila
juga harus tetap berpijak dan beralas tanah, semabri duduk luruh
merapat dengan bumi, layaknya gerak tahiyyat yang bersabar untuk bisa
tumbuh subur bersama rakyat karena tugas mulia seorang khalifah adalah
menabur keadilan sosial, sebagaimana sila kelima: Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
Demikianlah, karena ibadah shalat
adalah keseluruhan gerak, maka ketika ada satu rangkaian gerak tidak
terlaksana, hanya akan membatalkan shalat itu sendiri. Demikian pula
kita dalam ber-Pancasila, bila ada sila yang terlewat, maka "batal" pula
kita ber-Pancasila. Pada fase sejarah hari ini, sebagai generasi yang
sedang dan akan terus menegakkan berdirinya Pancasila, sejatinya kita
laksanakan seperti kita mendirikan salat dalam keseharian kita. Kita
berharap dari desa-desa munajat pancasila terus menerus menggema.
Merdesa!
Penulis adalah staf khusus Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
0 Komentar